"Itu namanya bintang, nak, salah satu ciptaan Allah yang menakjubkan," terang Mama dengan sempurna sekaligus bijak.
Kutahu, usiaku dua tahun lebih
sedikit waktu itu. Usia yang selalu ingin tahu segala hal dan mengejar
seribu jawaban dari siapa pun terhadap hal yang baru kulihat. Dan Mama,
dialah yang paling sabar menerangkan semua tanya itu, meski tak pernah
kupuas, tapi aku cukup yakin saat itu, bahwa Mama segala tahu.
Sejak malam itu, aku selalu
berdiri di belakang rumah menengadah ke langit memandangi jutaan bintang
yang berkelap-kelip, dan setiap saat itu pula Mama setia menemaniku.
Aku ingat, mama cukup kerepotan mencari jawaban ketika aku bertanya,
apakah bintang-bintang itu juga punya nama. Dengan cerdik, Mama
menjelaskan bahwa bintang-bintang itu sama dengan kita, manusia. Kalau
manusia punya nama, berarti bintang pun memiliki nama.
"Yang di sebelah sana, namanya siapa, ma?"
Keningnya berkerut, otaknya
berputar mencari jawaban. Hingga akhirnya, "Ooh… Yang itu mama tahu, ia
adalah bintang mama, karena namanya sama persis dengan nama anak mama
ini." Dekapannya begitu hangat, tak ada yang bisa melakukan semua itu
kecuali mama. Waktu itu yang kutahu, mama sekedar menjalankan
kewajibannya sebagai orangtua untuk menemani dan membahagiakanku.
Keesokkan harinya, setiap malam
tiba. Mama sudah tahu, sebelum waktu tidurku tiba, aku selalu
mengajaknya memandangi langit. Karena kini aku semakin senang, sejak
mama mengatakan bahwa bintang yang pernah kutunjuk itu adalah aku. Tapi,
hari ini mama membuatku kecewa, karena mama tak bisa menemaniku. Mama
sakit, begitu kata Papa.
Aku menangis, sebab malam itu
aku berniat tidak hanya minta mama menemaniku seperti malam-malam
sebelumnya. Tapi aku ingin mama mengambilkanku bintang-bintang itu dan
membawanya ke rumah. Aku ingin mereka menjadi temanku bermain hingga aku
tak perlu bersedih setiap ketika larut mama mengajakku masuk.
Tapi Mama tetap tak bisa
membantuku. Jangankan untuk mengambilkanku bintang-bintang, sekedar
duduk bersama di belakang rumah, merasai sentuhan angin yang lembut, dan
menyapa kedamaian malam, serta tersenyum membalas lambaian sang bulan
pun, mama tak kuat. Hingga malam berakhir, aku masih kecewa. Malam itu
bahkan aku tak mau makan, hingga mama yang sedang sakit pun harus
memaksakan diri tetap menyenandungkan nyanyian cinta pengantar tidur.
Untuk yang ini pun yang aku tahu, adalah juga kewajiban orangtua,
menyanyikan lagu pengantar tidur.
Esok harinya aku demam. Karena
semalaman tidak mau makan setelah beberapa jam di belakang rumah
'bermain-main' dengan bintang-bintang. Meski sedikit cemas, mama tak
pernah panik. Sentuhan hangat mama, membaluri ramuan khusus ke seluruh
tubuh kecil ini. Dua hari sudah, tak kunjung sembuh demamku. Padahal
mama sudah membawaku ke dokter.
Mama semakin panik. Panasku
meninggi dan sering mengigau. Tetapi justru disaat mengigau itulah mama
tahu obat terbaik untuk menyembuhkanku. Sampai di sini, aku masih
beranggapan, mencarikan obat, menyembuhkan anak, adalah sekedar
kewajiban orangtua.
Aku tidak tahu apa yang mama
perbuat. Setelah terlelap beberapa jam, aku terbangun, dan aku terkejut,
hampir tak percaya apa yang kutatap di langit-langit kamarku.
Bintang-bintang, mama membuatkanku bintang-bintang dari kertas berwarna
metalik, banyak sekali, puluhan, entah, mungkin ratusan. Sebagiannya
digantung sebagian lagi dibiarkan berserakan di tempat tidur dan lantai
kamar. Kuciumi mama karena telah membawakan bintang-bintang dari langit
itu ke rumah. Dan mama benar, kulihat di masing-masing bintang itu ada
namanya, salah satunya, ada bintang yang paling bagus dan paling besar,
diberinya namaku.
Anak mama yang dulu kerap
memandangi bintang itu, kini sudah dewasa. Sudah hidup mandiri. Tapi aku
tetap anak mama. Kemarin, kutelepon mama untuk mengabari bahwa aku
sedang tidak sehat dan tidak masuk kantor. Beberapa jam kemudian,
diantar papa dan salah seorang adikku, mama datang. Aku memang tetap
bintangnya mama, dibiarkannya kepalaku bersandar di peluknya, kurasakan
kembali kehangatan itu, hingga aku tertidur.
Sore, mama hendak pulang.
Sebenarnya aku ingin sekali menahannya untuk tinggal beberapa hari, tapi
adikku berbisik, "Waktu abang telepon, mama sebenarnya sedang sakit."
Ada setitik air di sudut mata
ini. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Kini, sekali lagi kusadari.
Semua yang dilakukan mama untukku, bukanlah kewajiban. Itulah yang
disebut cinta, cinta abadi. Cinta yang takkan pernah bisa aku membalasnya. Dan mama adalah bintang sesungguhnya bagiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar